Apa yang ada di benakmu jika mendengar kata “Ayah”? Pahlawan kah? Iya, dua kata itu layak untuk disandingkan bersama.
Sebab, ayah adalah orang keberadaanya sangat berarti untuk hidup kita. Jika bagi kita ayah adalah pahlawan, maka kita juga merupakan orang yang berarti untuknya.
Ayah tak pernah lelah menjadikan kepala sebagai kaki dan kaki sebagai kepala untuk membuat anaknya merasa bahagia. Ia menjadi orang pertama yang memberikan cinta saat kita mulai bertumbuh.
Dia tak pernah lelah menggenggam tangan saat kita belajar berjalan. Bibirnya tak pernah berhenti melantunkan doa agar kita selalu mendapatkan yang terbaik di dalam hidup ini.
Ketika diri kita beranjak remaja, ayah menjadi sosok yang berbeda. Ayah terlihat jahat karena mengekang keinginan anaknya. Ia menjadi orang yang tidak toleran akan masa remaja yang nakal.
Memarahi seakan menjadi hal yang biasa jika kita melakukan kesalahan. Saat kita dewasa dan menjadi seorang ayah atau ibu. Baru bisa merasakan bahwa marahnya adalah cinta. Ia ingin menjaga agar anak-anak tetap pada jalurnya.
Ia selalu melarang ini itu, bukan karena ia selalu benar. Melainkan ia sudah berulang kali merasakan gagal dan salah. Sehingga, ia tidak ingin anak-anak melakukan kesalahan yang sama. Sesederhana itu.
Kita tahu, ayah adalah orang yang pandai berbohong. Saat sakit dan lemah pun ia akan berkata baik-baik saja. Sebagai seorang anak, pasti kerap membuatnya kecewa.
Sebagai seorang manusia biasa, ia pasti akan sangat sering sakit hatinya. Hal ini terjadi jika kita menghancurkan kepercayaannya.
Ia mungkin tak pernah terlihat sedih. Namun, sebenarnya, air matanya ia simpan di saat sujud-sujud panjangnya. Ia adalah sosok yang tak tergantikan.
Ia akan selalu ada di hati. Ia adalah pahlawan yang meretas sepi. Ia layak diabadikan dalam puisi-puisi.
Kumpulan Puisi Ayah
Nah, jika Kamu sedang mencari inspirasi puisi untuk ayah, silakan contek contoh-contohnya di bawah ini.
#1. Puisi untuk Ayah buah Karya Pramodya Ananta Toer
Tidak Bapak aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang jauh.. (Gadis Pantai hal. 269)
Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah
Pulang ke teduh matamu
Berenang di kolam yang kau beri nama rindu
Aku ingin kembali
Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman
Memetik tomat di belakang rumah nenek
Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku
Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur
Menggaruk-nggaruk bantal saat aku bermimpi
Aku ingin kembali ke rumah, Ayah
Tapi nasib memanggilku
Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi
Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata
Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolak
Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah
Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada
Maka aku menungganginya
Maka aku menungganginya
Menyusuri hutan-hutan jati
Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya
Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa
Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota
Mencipta banjir genangan air mata
Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir
Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi
Hujan ingin bercerai dengan banjir
Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia
Aku tak bisa pulang lagi, Aya, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang-orang datang ke pasar malam, satu per satu, seperti katamu
Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya
Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia
Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya
Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk
Begitu jarak ditempuh, sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga abadi.
Di depan sana ufuk yang itu juga abadi
Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dengan tangan, jarak dan ufuk abadi itu.
Renungan: puisi ini mengungkapkan betapa pun seseorang ingin pulang dan bertemu dengan ayahnya. Dengan telaga rindu yang sudah membuncah, tetap saja, mimpi-mimpi terus membuatnya melintasi dunia.
Menjelajah berbagai tempat yang jauh. Sebab, baginya mimpi lebih utama. Kerinduan pada kampung halaman dan orang tuanya ternyata tidak lebih kuat dari keinginannya menjelajah jarak dan ufuk yang tidak pernah ada habisnya.
Ia hanya berusaha untuk bertanggung jawab pada mimpi yang sudah digantung setinggi-tingginya.
#2. Puisi Ayah buah karya Riska Cania Dewi
Judul: Titip Rindu untuk Ayah (disadur dari normatis.com)
Hening malam
Serpihan-serpihan harapan datang
Merindu kau kembali bersama
Setitik harapan ingin kau kembali datang
Berkumpul bersama kami semua
Air mata menyesakkan dada
Harapan tersapu badai kekecewaan
Apa daya mengharapkan mu datang
Kau tak akan kembali sebab kau telah bersama Tuhan
Ku panggil merpati menyampaikan salam rindu dari anakmu untuk ayah tercinta
11 Mei 2017
Riska Cania Dewi
Renungan: Puisi ini adalah ungkapan kerinduan dari seorang anak pada ayahnya yang telah meninggal.
Meskipun keinginan bersama kembali begitu kuat, akan tetapi takdir tidak mungkin membuat ayah hidup kembali. Sebab itu, penulis meneteskan air mata atas kerinduan pada ayahnya.
#3. Puisi Ayah buah karya Norman Adi Satria
Judul: Aku Anak Ayahku (Disadur dari normatis.com)
Aku pernah mengira kau cengeng, Ayah.
Begitu tersedunya kau mengucurkan air mata
ketika ayahmu meninggalkan kita.
Bocah ingusan memang belum tanggap soal kehilangan
karena terbiasa melihat robot yang tak dapat lagi berjalan
namun masih bisa diajak main perang-perangan.
Aku juga pernah mengira kau keji, Ayah.
Begitu membabi butanya kau menghajarku
hingga babak belur dan darah dari hidungku mengucur
hanya karena aku meminta dua ratus perak
untuk membeli sebungkus batagor;
itupun masih kau tambahi dengan golok tajam
yang kau lekatkan di leherku;
bila Ibu tak buru-buru
sudah melayanglah nyawaku.
Sejak saat itu aku membencimu, Ayah!
Kita tak saling cakap selama enam tahun.
Sedikitpun aku tak pernah lagi menyapamu
kau tak pernah lagi menanyai bagaimana sekolahku.
Kita dua lelaki yang seolah bisu, benar-benar bisu
karena yang tunawicara saja masih berbicara
melalui gerak-gerik tubuhnya, sedangkan kita tidak.
Kau membiarkan aku melakukan apa saja semauku
termasuk membawa gadis dan menenggak minuman di kamarku.
Padahal ketika itu aku hanya ingin kau tegur
Aku rindu kau marahi.
Tapi mengapa kau biarkan aku mabuk
kau biarkan aku rusak
Jadi bocah nakal, calon bajingan?
Kau biarkan aku menyesal sendiri
seperti kau yang akhirnya menyesali
masa-masa mudamu yang terbuang
sebagai seorang ayah yang gagal dicintai.
Terkadang, dalam kesunyian aku sengaja
mendengarkan langkah kakiku sendiri
hanya untuk memastikan
benarkah bunyi langkah kita senada?
Dan ternyata benar, aku tumbuh menjadi sepertimu,
Hanya jalan kita yang berbeda.
Aku takkan menghajar anakku
seperti kau menghajar aku.
Di senja itu
aku sengaja sembunyi untuk berairmata
ketika melihat kau menggendong anakku.
Tanganmu yang dulu kekar memukuliku
kini gemetar mengelus kepala cucumu.
Bila melihat air mataku terjatuh
mungkin aku akan dianggap cengeng oleh anakku
karena aku menangis jauh sebelum kehilanganmu.
Jakarta, 26 Agustus 2014
Norman Adi Satria
Renungan: Sebagai seorang anak, terkadang kita salah memahami sikap orang tua. Sebab, kita hanya memandang dengan ego kekanakan.
Seperti yang sudah dibahas pada awal artikel bahwa marahnya orang tua adalah kasih sayang. Terkadang kita justru menilainya dengan kebencian.
Padahal, orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dari puisi ini juga kita patut belajar untuk menjadi orang tua.
Bahwa kekerasan hanya membuat kita berjarak dengan anak-anak. Memberi tahu anak dengan kalimat yang lebih baik sebenarnya lebih mudah untuk sampai ke hatinya.
Namun, sejauh-jauhnya jarak yang memisahkan anak dengan ayahnya, hatinya tetap dekat. Suatu saat, kasih sayang akan membuat sadar, bahwa seseorang tetaplah anak dari ayahnya.
#4. Puisi Ayah oleh Norman Adi Satria
Judul: Kacamata Ayah
Sebelum Ayah tiada,
beliau hanya mewariskan sebuah kacamata.
Kacamata yang biasa dipakainya
ketika membaca saya.
Ada sisa air mata disana.
Airmata yang beliau teteskan
ketika saya beranjak dewasa
dan harus meninggalkannya sendirian di desa.
Saya pergi mengejar cita-cita
sampai ke ibukota.
Dan tak pernah mau bicara
bila beliau menelefon bertanya:
apakah masih ada padamu sukacita?
Ayah tahu artinya
bahkan bila saya tak bicara.
Sukacita itu sudah saya gadai
di meja sebuah kedai.
Menjadi pelayan yang bekerja rodi
dengan kenaikan gaji
yang hanya ada dalam andai-andai.
Suatu kali kacamata itu saya pakai.
Saya melihat seorang wanita
memesan coklat panas kepada seorang pelayan
yang tak lain adalah Ayah saya ketika muda.
Ternyata Ayah dulu adalah seorang pelayan
sama seperti saya sekarang.
Wanita itu sedang mengandung,
mungkin enam bulan.
Ayah mengantarkan secangkir coklat padanya,
wanita itu tampak gundah gulana.
Belakangan saya tahu
wanita itu adalah mantan pacar Ayah
yang meninggalkannya menikah
dengan seorang lelaki bedebah.
Lelaki yang kabur
membiarkannya bak seorang pelacur,
hanya menjadi teman tidur.
Berbulan kemudian
saat wanita itu akan melahirkan,
saya ikuti langkah Ayah
menuju sebuah klinik bidan.
Sebelum melahirkan
wanita itu berkata pada Ayah:
maukah kau membesarkan anakku?
Ayah menggenggam tangannya
dan menjawab hanya dengan anggukan.
Setelah bayi itu lahir,
wanita itu meninggal.
Ayah menggendong bayi itu,
membawanya pulang,
dan membesarkannya
tanpa pernah memberi tahu
bahwa dirinya tak pernah menikah.
Mungkin terlalu berat untuknya bercerita
hingga beliau memilih untuk memberitahu saya
hanya melalui sebuah
kacamata,
bahwa bayi itu adalah
saya.
Bekasi, 14 Oktober 2013
Norman Adi Satria
Renungan: Puisi ini menceritakan tentang pengorbanan seorang ayah yang selama hidup hanya merawat seorang anak dari mantan pacarnya.
Ia tidak pernah menikah tetapi tidak pernah menceritakan pada anaknya perihal status dari anak tersebut.
Hal ini memberi pelajaran bahwa ayah adalah sosok manusia yang jarang mengungkapkan keluh kesahnya.
Bahkan, ayah dalam puisi tersebut tidak mengatakan pada anaknya bahwa ia tidak pernah menikah dan merawat anak orang lain.
Ayah memang sosok yang tidak pernah mengatakan kesedihannya. Bahkan, yang menjadi saksi dari penderitaannya hanyalah seonggok kaca mata.
#4. Puisi Ayah Tentang Pelajaran Berharga dalam Hidup
Judul: Puisi di Suatu Dahulu
Rumah masa kecilku
yang ada di suatu dahulu
hanya berdinding anyaman bambu.
Agar tampak kuat,
Ayah menempelkan kertas bekas
dengan lem dari tepung kanji
dan meleburnya dengan kapur.
Bila hujan datang semuanya luntur.
“Ayah, luntur.”
“Tak apa, Nak. Lekas tidur.”
Ayah sepanjang malam mengumpulkan lap gombal
untuk menambal,
jangan sampai air hujan
merembes ke kasur
agar aku tetap lelap tertidur.
Suatu hari aku minta dibelikan air mancur,
agar mandiku tak usah mengguyur.
“Ayah, di kamar mandi orang kaya ada air mancur,
mereka tak usah gebyur-gebyur.
Tinggal putar kran langsung cur.”
Ayah hanya menghela napas,
mungkin pintaku tak terukur,
ia hanya seorang tukang cukur.
Namun sorenya aku melihat air mancur di kamar mandiku.
Ayah membuatnya dari botol bekas
yang ia lubangi kecil-kecil di bawahnya.
Airnya dari ember yang terus ia isi air dari timba
dari sumur tetangga
dan mengalir melalui selang.
Aku mandi dengan senang
berasa seperti orang kaya.
“Nak, untuk mandi seperti ini
kita tak perlu jadi orang kaya,
jadilah orang yang mampu melakukan apapun
dalam keterbatasan yang ada.”
katanya
sembari terus menimba
di suatu dahulu kala.
Bekasi, 10 Juli 2013
Norman Adi Satria
Renungan: Ayah adalah sosok manusia yang akan selalu memberikan petuah-petuah pada anaknya. Ayah yang bijak akan membuat anaknya merasa bahagia meskipun dalam keterbatasan.
Seperti dalam puisi di atas yang mana seorang ayah yang baik akan memberikan kalimat bijak untuk membuat sang Anak mengerti bahwa kebahagiaan tidak hanya bisa diukur dengan harta.
#5. Puisi Ayah Karya Rayhandi
Judul: Saat Ayah Tidur
Saat Ayah Tidur
Puisi ayah karya: Rayhandi
Saat ayah tidur
Kutemukan seberkah kedamaian di sana
Tepatnya di wajahmu yang senja itu
Kulihat di sana begitu banyak sajak balada.
Saat ayah tidur
Kutemukan wajah kebebasan
Laksana rindu terbebas dari kesepian menghujam
Di sanalah kutemukan ia.
Saat ayah tidur
Saat itulah kau menjadi asli tanpa topeng tanpa drama
Kau menjadi dirimu yang rapuh dan sakit
Kau menjadi manusia wajar bukan robot.
Saat ayah tidur
Ingin rasanya kumenangis
Mengingat sebait takdir kita yang sekarat
Mati tidak mau menyerah tidak bisa.
Saat ayah tidur
Ayah kudongakkan wajahku ke atas biru
Kumohon padaNya dengan khidmat
Semoga aku selalu bersamamu
Melihat tidurmu ayah.
Renungan: Puisi berjudul saat ayah tidur ini merupakan ungkapan kesedihan dari seorang anak yang selalu melihat ayahnya bekerja dengan keras selama hidupnya.
Di dalam tidur ayahnya, seorang anak baru bisa melihat sosok manusia biasa yang memiliki rasa lelah dan lemah. Berbeda jauh dengan keadaan sang ayah ketika ia harus menjadi sosok lain yang selalu merasa kuat.
#6. Puisi Ayah Berisi Doa
Judul: Ayahku Matahariku
Ayah
Dimataku kau lah sosok yang paling bijaksana
Senyummu yang penuh dengan kasih sayang
Matamu,hidungmu tetap tersedia didalam ingatanku
walau kau berada di kejauhan sana
Ayah ….
Entah mengapa Tuhan mengambilmu lebih awal
Sebelum aku bisa membahagiakanmu
Aku sedih aku merana
Tiada sang matahari yang menyinari lagi
Engkau bagaikan matahari yang selalu bersinar
Tiada kau disini mendung terasa dunia ini
tapi ayah …..
Doaku selalu tersedia bikin ayah
Setiap waktu,
Setiap detik,
Setiap menit,
Setiap hembusan nafasku
Ayah ,,,,
Andai kau tetap tersedia
Ku menginginkan waktu ini hanya untuk bersamamu
Sebagai kebersamaan yang terakhir kalinya
Ayah …..
Anakmu ini selalu menyayangimu
Tak terhalang waktu,keadaan dan apapun itu
Terimakasih untuk seluruh perjuangan
Semua kebaikan,
Semua nasihat,
Yang udah engkau memberikan untukku dan keluarga
Semoga kau tenang dan berada di area yang paling indah
Berada disisiNya
Amin
Renungan: Kehilangan ayah memang menjadi hal yang menyakitkan bagi setiap anak. Sebab ayah adalah sosok penjaga yang tidak pernah mengeluhkan perjuangannya.
Maka dari itu, kita harus senantiasa mengucapkan doa pada setiap waktu jika ingin membalas jasanya. Meskipun, jasa ayah tidak akan pernah mampu untuk kita balas.
Demikian beberapa contoh puisi ayah dari penyair terkenal di negeri ini. Semoga menjadi bahan perenungan bagi kita untuk selalu berbakti kepadanya.