Kerajaan Pontianak – Pontianak merupakan salah satu kota di Pulau Kalimantan dengan cerita sejarah yang menarik. Para gadis di kota ini juga dikenal berparas cantik nan anggun.
Namun, apakah Anda tahu tentang Kerajaan Pontianak? Bagaimana sejarahnya? Apakah peninggalannya masih ada hingga sekarang?
Sejarah Kesultanan Pontianak
Kerajaan di Pulau Kalimantan juga memiliki andil cukup besar terhadap terbentuknya negara republik Indonesia.
Kerajaan Pontianak atau Kesultanan Kadriyah Pontianak mampu melahirkan budaya sekaligus salah satu kerajaan yang menyebarkan Islam di Nusantara ini.
1. Berdirinya Kesultanan Pontianak
Kerajaan Pontianak mulai berdiri pada 23 Oktober 1771 atau 14 Rajab 1185 Hijriyah, hari Rabu oleh seorang putra ulama bernama Syarif Abdurrahman Alkadrie.
Berdirinya kerajaan ini ditandai dengan dibukanya hutan area Sungai Kapuas kecil, Kapuas Besar dan Landak.
Tiga kawasan sungai ini akan dijadikan sebuah rumah dan balai untuk tempat tinggal anggota kerajaan dan para rakyatnya. Ketika memasuki tahun 1778 M atau 1192 H diputuskanlah Syarif Abdurrahman A. sebagai Sultan.
2. Masuknya Penjajah Belanda
Ketika Kerajaan Pontianak berdiri, tidak lama kemudian datanglah para kolonial Belanda yang mulai menjajah bumi Nusantara. Mereka datang di tahun 1778 dari Batavia (Jakarta) yang dipimpin Willem Ardin Palm.
Namun, Sultan Syarif Abdurrahman memiliki kebesaran hati untuk menerima kedatangan Belanda dan memberikan izin wilayah kekuasaan di daerah Tanah Seribu (berseberangan dengan istana Kadriyah Pontianak).
Setelah itu, pemimpin Belanda diganti menjadi Wolter Markus Stuart (1779 hingga 1784).
Markus memberikan tawaran kerja sama kepada sultan Pontianak, tetapi sang sultan menolak. Ketika Markus datang kedua kalinya, Sultan justru menerima kerja sama dengan lapang dada.
Perjanjian antara Belanda dan Kesultanan Pontianak disepakati pada 5 Juli 1779. Isinya berupa masyarakat Tanah Seribu bersedia, jika daerahnya digunakan untuk kegiatan pemerintahan sekaligus menjadi wilayah kedudukan penuh atas Belanda.
Sultan Syarif Abdurrahman wafat di tahun 1808 M. Setelah itu, kepemimpinan diambil alih oleh putranya bernama Sultan Syarif Kasim.
Ketika beliau menjabat, kerja sama dengan pemerintah Belanda semakin dipererat hingga tahun 1811.
Setelah kekuasaan Sultan Kasim, selanjutnya tahun 1819 hingga 1855 digantikan oleh Sultan Syarif Usman Alkadrie yang menjadi pencetus diteruskannya pembangunan masjid besar Pontianak.
Para pemimpin kerajaan ini terus silih berganti oleh keturunan-keturunan sultan.
3. Masuknya Penjajah Jepang
Pada masa pemerintahan Sultan Syarif Muhammad Alkadrie, Kerajaan Pontianak mulai kehilangan eksistensinya. Masa ini terjadi tahun 1930-an. Kemudian, ditambah lagi dengan datangnya Jepang ke tanah Pontianak di tahun 1942.
Tanggal 24 Januari tahun 1944, Kolonial Jepang menganggap jika Kesultanan Pontianak bekerja sama dengan Belanda, sehingga menimbulkan kemarahan.
Jepang langsung mengusik kehidupan kerajaan dan rakyat dengan menghancurkan kesultanan Pontianak dan lainnya.
Aksi yang dilakukan Jepang ini didasarkan adanya organisasi para bangsawan, sultan, raja, tokoh masyarakat dan cendekiawan yang berpotensi mengusirnya dengan cepat.
Agar hal tersebut tidak terjadi, maka dihancurkanlah beberapa kerajaan di Kalimantan Barat, termasuk Pontianak.
Penghancuran Kerajaan Pontianak dimulai dengan penangkapan, penyiksaan hingga pembunuhan masyarakat yang berlangsung selama September 1943 hingga Januari 1944.
Tidak cukup itu saja, sang Sultan Syarif Muhammad juga dibunuh Jepang pada 28 Juni 1944.
Selama pemerintahan Jepang ini, kesultanan Pontianak luluh lantah karena hampir semua pemuka adat dibantai oleh Jepang.
Peristiwa tragis yang menimpa kerajaan di Kalimantan Barat ini dikenal sebagai peristiwa Mandor.
Mengetahui terjadinya peristiwa berdarah ini,masyarakat Pontianak marah hingga terjadilah perang dayak desa.
Namun, dari kejadian ini putra Sultan Syarif Muhammad bisa selamat, tetapi menjadi tawanan Jepang untuk dibawa ke Batavia.
4. Kondisi setelah Indonesia Merdeka
Setelah Sultan Hamid dibawa ke Batavia (anak dari Sultan Syarif Muhammad), Indonesia berhasil merdeka pada 17 Agustus 1945. Sultan Hamid pun terbebas sebagai tawanan Jepang. Belau kembali ke tanah Pontianak.
Kesultanan Pontianak dan beberapa kerajaan lain di Kalimantan Barat mulai bergabung menjadi satu dengan republik Indonesia serikat.
Sultan Hamid didaulat untuk menjadi presiden negara Kalimantan Barat (kepala daerah) dan menjabat sebagai ketua pada beberapa organisasi.
Wilayah Kalimantan Barat menjadi salah satu daerah istimewa yang disebut Daerah Istimewa Kalimantan Barat seperti halnya Daerah Istimewa Yogyakarta dengan pemimpin daerah seorang sultan.
Kepemimpinan pun juga diwariskan kepada keturunan Sultan.
Setelah wafatnya Sultan Hamid, Istana Kadriyah Pontianak mengalami kekosongan jabatan hingga 25 tahun.
Pada 15 Januari 2004, akhirnya jabatan sultan diisi kembali oleh Syarif Abubakar Alkadrie sebagai sultan ke VIII dari kesultanan Pontianak.
Kini wilayah Daerah Istimewa Kalimantan Barat menjadi Provinsi Kalimantan Barat yang telah dibentuk pada tahun 1956.
Para Sultan Kerajaan Pontianak
Kesultanan Pontianak memiliki hak istimewa yang wilayahnya masih dipimpin oleh seorang sultan. Kota ini telah terjadi 10x pergantian pemimpin, di antaranya:
- Sultan Syarif Abdurrahman bin Husein Al-Kadrie, menjabat dari 1 September 1778 hingga 28 Februari 1808.
- Sultan Syarif Kasim bin Abdurrahman Al-Kadrie, menjabat dari 28 Februari 1808 hingga 25 Februari 1819.
- Sultan Syarif Usman bin Abdurrahman Al-Kadrie, menjabat dari 25 Februari 1819 hingga 12 April 1855.
- Sultan Syarif Hamid I bin Usman Al-Kadrie, menjabat dari 12 April 1855 hingga 22 Agustus 1872.
- Sultan Syarif Yusuf bin Hamid I Al-Kadrie, menjabat dari 22 Agustus 1872 hingga 13 Maret 1895.
- Sultan Syarif Muhammad bin Yusuf Al-Kadrie, menjabat dari 13 Maret 1895 hingga 24 Juni 1944.
- Sultan Syarif Thaha bin Usman Al-Kadrie bin Yusuf Al-Kadrie, menjabat dari 24 Juni 1944 hingga 29 Oktober 1945.
- Sultan Syarif Hamid II bin Usman Al-Kadrie (Mayjen KNIL), menjabat dari 29 Oktober 1945 hingga 30 Maret 1978.
- Sultan Syarif Abubakar bin Syarif Mahmud Al-Kadrie bin Muhammad Al Kadrie, menjabat dari 15 Januari 2004 hingga 31 Maret 2017.
- Sultan Syarif Mahmud bin Abubakar Al-Kadrie, menjabat 15 Juli 2017 dari hingga saat ini.
Setelah kepemimpinan Sultan Hamid II, terjadi kekosongan jabatan selama 25 tahun yakni mulai 30 Maret 1978 hingga 15 Januari 2004.
Kekosongan ini disebabkan belum adanya pemimpin yang tepat. Namun, tradisi dan kebudayaan kerajaan masih terlaksana dan terjaga dengan baik.
Bukti Peninggalan Kerajaan Pontianak
1. Masjid Jami’ Pontianak/Masjid Sultan Syarif Abdurrahman
Masjid Jami’ Pontianak lokasi berada di pusat kota dan dekat dengan alun-alun Pontianak.
Selain aktif digunakan untuk beribadah setiap hari, masjid ini biasanya juga dipakai untuk acara besar seperti tabligh akbar dan sebagainya.
2. Istana Kesultanan Kadriyah
Bangunan istana sultan ini berada di pusat kota, tepatnya kelurahan dalam bugis, Kec. Pontianak Timur, Pontianak, Prov.
Kalimantan Barat. Istana Sultan ini masih berdiri dan menjalankan roda pemerintahan kota Pontianak hingga sekarang.
3. Tugu Khatulistiwa
Ikon dari kota Pontianak adalah tugu khatulistiwa yang letaknya 3 km dari pusat kota.
Tugu ini dijadikan simbol sekaligus digunakan pada saat kegiatan titik kulminasi, yakni fenomena alam saat matahari terletak di garis khatulistiwa (biasanya terjadi setiap tanggal 21 hingga 23 Maret).
4. Makam Batu Layang
Bukti dari perjuangan para Sultan Pontianak diwujudkan dengan adanya makam Batu Layang. Makam ini terletak 1 garis lurus dari istana dari timur hingga ke barat.
Kompleks makam Batu Layang bisa Anda kunjungi kapan saja, asalkan tetap mematuhi nilai kesopanan yang diterapkan.
Keberadaan Kerajaan Pontianak masih terjadi hingga sekarang menjadi salah satu bukti sejarah Indonesia yang tidak bisa dipisahkan.
Selain istana Sultan yang masih berdiri kokoh, ada beberapa peninggalan lainnya yang bisa Anda kunjungi, misalnya Masjid Jami’ Pontianak.