Siapkan Tisu Jika Ingin Baca Kumpulan Puisi Ayah Ini! Puisi Mengharukan untuk Ayah

Puisi Ayah

image via canva.com/goodminds.id

Apa yang ada di benakmu jika mendengar kata “Ayah”? Pahlawan kah? Iya, dua kata itu layak untuk disandingkan bersama.

Sebab, ayah adalah orang keberadaanya sangat berarti untuk hidup kita. Jika bagi kita ayah adalah pahlawan, maka kita juga merupakan orang yang berarti untuknya.

Ayah tak pernah lelah menjadikan kepala sebagai kaki dan kaki sebagai kepala untuk membuat anaknya merasa bahagia. Ia menjadi orang pertama yang memberikan cinta saat kita mulai bertumbuh.

Dia tak pernah lelah menggenggam tangan saat kita belajar berjalan. Bibirnya tak pernah berhenti melantunkan doa agar kita selalu mendapatkan yang terbaik di dalam hidup ini.

Ketika diri kita beranjak remaja, ayah menjadi sosok yang berbeda. Ayah terlihat jahat karena mengekang keinginan anaknya. Ia menjadi orang yang tidak toleran akan masa remaja yang nakal.

Memarahi seakan menjadi hal yang biasa jika kita melakukan kesalahan. Saat kita dewasa dan menjadi seorang ayah atau ibu. Baru bisa merasakan bahwa marahnya adalah cinta. Ia ingin menjaga agar anak-anak tetap pada jalurnya.

Ia selalu melarang ini itu, bukan karena ia selalu benar. Melainkan ia sudah berulang kali merasakan gagal dan salah. Sehingga, ia tidak ingin anak-anak melakukan kesalahan yang sama. Sesederhana itu.

Kita tahu, ayah adalah orang yang pandai berbohong. Saat sakit dan lemah pun ia akan berkata baik-baik saja. Sebagai seorang anak, pasti kerap membuatnya kecewa.

Sebagai seorang manusia biasa, ia pasti akan sangat sering sakit hatinya. Hal ini terjadi jika kita menghancurkan kepercayaannya.

Ia mungkin tak pernah terlihat sedih. Namun, sebenarnya, air matanya ia simpan di saat sujud-sujud panjangnya. Ia adalah sosok yang tak tergantikan.

Ia akan selalu ada di hati. Ia adalah pahlawan yang meretas sepi. Ia layak diabadikan dalam puisi-puisi.

Kumpulan Puisi Ayah

Nah, jika Kamu sedang mencari inspirasi puisi untuk ayah, silakan contek contoh-contohnya di bawah ini.

#1. Puisi untuk Ayah buah Karya Pramodya Ananta Toer

Tidak Bapak aku tak akan kembali ke kampung. Aku mau pergi yang jauh.. (Gadis Pantai hal. 269)

Sebenarnya, aku ingin kembali, Ayah

Pulang ke teduh matamu

Berenang di kolam yang kau beri nama rindu

 

Aku ingin kembali

Pulang menghitung buah mangga yang ranum di halaman

Memetik tomat di belakang rumah nenek

 

Tapi jalanan yang jauh, cita-cita yang panjang tak mengizinkanku

Mereka selalu mengetuk daun pintu saat aku tertidur

Menggaruk-nggaruk bantal saat aku bermimpi

Aku ingin kembali ke rumah, Ayah

Tapi nasib memanggilku

 

Seekor kuda sembrani datang, menculikku dari alam mimpi

Membawaku terbang melintasi waktu dan dimensi kata-kata

Aku menyebut pulang, tapi ia selalu menolak

Aku menyebut rumah, tapi ia bilang tak pernah ada rumah

Aku sebut kampung halaman, ia bilang kampung halaman tak pernah ada

Maka aku menungganginya

Maka aku menungganginya

Menyusuri hutan-hutan jati

Melihat rumput-rumput yang terbakar di bawahnya

Menyaksikan sepur-sepur yang batuk membelah tanah Jawa

Arwah-arwah pekerja bergentayangan menuju ibu kota

Mencipta banjir genangan air mata

Arwah-arwah buruh menggiring hujan air mata, mata mereka menyeret banjir

Kota yang tua telah lelah menggigil, sudah lupa bagaimana bermimpi dan bangun pagi

Hujan ingin bercerai dengan banjir

Tapi kota yang pikun membuatnya bagai cinta sejati dua anak manusia

 

Aku tak bisa pulang lagi, Aya, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

 

Orang-orang datang ke pasar malam, satu per satu, seperti katamu

Berjudi dengan nasib, menunggu peruntungan menjadi kaya raya

Tapi seperti rambu lalu lintas yang setia, sedih dan derita selalu berpelukan dengan setia

 

Aku tak bisa pulang lagi, Ayah, kuda ini telah menambatkan hatiku di pelananya

Orang bilang, apa yang ada di depan manusia hanya jarak. Dan batasnya adalah ufuk

Begitu jarak ditempuh, sang ufuk menjauh. Yang tertinggal jarak itu juga abadi.

Di depan sana ufuk yang itu juga abadi

Tak ada romantika cukup kuat untuk dapat menaklukkan dan menggenggamnya dengan tangan, jarak dan ufuk abadi itu.

 

Renungan: puisi ini mengungkapkan betapa pun seseorang ingin pulang dan bertemu dengan ayahnya. Dengan telaga rindu yang sudah membuncah, tetap saja, mimpi-mimpi terus membuatnya melintasi dunia.

Menjelajah berbagai tempat yang jauh. Sebab, baginya mimpi lebih utama. Kerinduan pada kampung halaman dan orang tuanya ternyata tidak lebih kuat dari keinginannya menjelajah jarak dan ufuk yang tidak pernah ada habisnya.

Ia hanya berusaha untuk bertanggung jawab pada mimpi yang sudah digantung setinggi-tingginya.

 

#2. Puisi Ayah buah karya Riska Cania Dewi

Judul: Titip Rindu untuk Ayah (disadur dari normatis.com)

Hening malam

Serpihan-serpihan harapan datang

Merindu kau kembali bersama

Setitik harapan ingin kau kembali datang

Berkumpul bersama kami semua

 

Air mata menyesakkan dada

Harapan tersapu badai kekecewaan

Apa daya mengharapkan mu datang

Kau tak akan kembali sebab kau telah bersama Tuhan

 

Ku panggil merpati menyampaikan salam rindu dari anakmu untuk ayah tercinta

 

11 Mei 2017

Riska Cania Dewi

 

Renungan: Puisi ini adalah ungkapan kerinduan dari seorang anak pada ayahnya yang telah meninggal.

Meskipun keinginan bersama kembali begitu kuat, akan tetapi takdir tidak mungkin membuat ayah hidup kembali. Sebab itu, penulis meneteskan air mata atas kerinduan pada ayahnya.

 

#3. Puisi Ayah buah karya Norman Adi Satria

Judul: Aku Anak Ayahku (Disadur dari normatis.com)

 

Aku pernah mengira kau cengeng, Ayah.

Begitu tersedunya kau mengucurkan air mata

ketika ayahmu meninggalkan kita.

Bocah ingusan memang belum tanggap soal kehilangan

karena terbiasa melihat robot yang tak dapat lagi berjalan

namun masih bisa diajak main perang-perangan.

 

Aku juga pernah mengira kau keji, Ayah.

Begitu membabi butanya kau menghajarku

hingga babak belur dan darah dari hidungku mengucur

hanya karena aku meminta dua ratus perak

untuk membeli sebungkus batagor;

itupun masih kau tambahi dengan golok tajam

yang kau lekatkan di leherku;

bila Ibu tak buru-buru

sudah melayanglah nyawaku.

 

Sejak saat itu aku membencimu, Ayah!

Kita tak saling cakap selama enam tahun.

Sedikitpun aku tak pernah lagi menyapamu

kau tak pernah lagi menanyai bagaimana sekolahku.

Kita dua lelaki yang seolah bisu, benar-benar bisu

karena yang tunawicara saja masih berbicara

melalui gerak-gerik tubuhnya, sedangkan kita tidak.

 

Kau membiarkan aku melakukan apa saja semauku

termasuk membawa gadis dan menenggak minuman di kamarku.

Padahal ketika itu aku hanya ingin kau tegur

Aku rindu kau marahi.

Tapi mengapa kau biarkan aku mabuk

kau biarkan aku rusak

Jadi bocah nakal, calon bajingan?

 

Kau biarkan aku menyesal sendiri

seperti kau yang akhirnya menyesali

masa-masa mudamu yang terbuang

sebagai seorang ayah yang gagal dicintai.

 

Terkadang, dalam kesunyian aku sengaja

mendengarkan langkah kakiku sendiri

hanya untuk memastikan

benarkah bunyi langkah kita senada?

Dan ternyata benar, aku tumbuh menjadi sepertimu,

Hanya jalan kita yang berbeda.

Aku takkan menghajar anakku

seperti kau menghajar aku.

 

Di senja itu

aku sengaja sembunyi untuk berairmata

ketika melihat kau menggendong anakku.

Tanganmu yang dulu kekar memukuliku

kini gemetar mengelus kepala cucumu.

Bila melihat air mataku terjatuh

mungkin aku akan dianggap cengeng oleh anakku

karena aku menangis jauh sebelum kehilanganmu.

 

Jakarta, 26 Agustus 2014

Norman Adi Satria

 

Renungan: Sebagai seorang anak, terkadang kita salah memahami sikap orang tua. Sebab, kita hanya memandang dengan ego kekanakan.

Seperti yang sudah dibahas pada awal artikel bahwa marahnya orang tua adalah kasih sayang. Terkadang kita justru menilainya dengan kebencian.

Padahal, orang tua hanya menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dari puisi ini juga kita patut belajar untuk menjadi orang tua.

Bahwa kekerasan hanya membuat kita berjarak dengan anak-anak. Memberi tahu anak dengan kalimat yang lebih baik sebenarnya lebih mudah untuk sampai ke hatinya.

Namun, sejauh-jauhnya jarak yang memisahkan anak dengan ayahnya, hatinya tetap dekat. Suatu saat, kasih sayang akan membuat sadar, bahwa seseorang tetaplah anak dari ayahnya.

#4. Puisi Ayah oleh Norman Adi Satria

Judul: Kacamata Ayah

Sebelum Ayah tiada,

beliau hanya mewariskan sebuah kacamata.

Kacamata yang biasa dipakainya

ketika membaca saya.

 

Ada sisa air mata disana.

Airmata yang beliau teteskan

ketika saya beranjak dewasa

dan harus meninggalkannya sendirian di desa.

 

Saya pergi mengejar cita-cita

sampai ke ibukota.

Dan tak pernah mau bicara

bila beliau menelefon bertanya:

apakah masih ada padamu sukacita?

 

Ayah tahu artinya

bahkan bila saya tak bicara.

Sukacita itu sudah saya gadai

di meja sebuah kedai.

Menjadi pelayan yang bekerja rodi

dengan kenaikan gaji

yang hanya ada dalam andai-andai.

 

Suatu kali kacamata itu saya pakai.

Saya melihat seorang wanita

memesan coklat panas kepada seorang pelayan

yang tak lain adalah Ayah saya ketika muda.

Ternyata Ayah dulu adalah seorang pelayan

sama seperti saya sekarang.

 

Wanita itu sedang mengandung,

mungkin enam bulan.

Ayah mengantarkan secangkir coklat padanya,

wanita itu tampak gundah gulana.

 

Belakangan saya tahu

wanita itu adalah mantan pacar Ayah

yang meninggalkannya menikah

dengan seorang lelaki bedebah.

Lelaki yang kabur

membiarkannya bak seorang pelacur,

hanya menjadi teman tidur.

 

Berbulan kemudian

saat wanita itu akan melahirkan,

saya ikuti langkah Ayah

menuju sebuah klinik bidan.

 

Sebelum melahirkan

wanita itu berkata pada Ayah:

maukah kau membesarkan anakku?

Ayah menggenggam tangannya

dan menjawab hanya dengan anggukan.

 

Setelah bayi itu lahir,

wanita itu meninggal.

Ayah menggendong bayi itu,

membawanya pulang,

dan membesarkannya

tanpa pernah memberi tahu

bahwa dirinya tak pernah menikah.

 

Mungkin terlalu berat untuknya bercerita

hingga beliau memilih untuk memberitahu saya

hanya melalui sebuah

kacamata,

bahwa bayi itu adalah

saya.

 

Bekasi, 14 Oktober 2013

Norman Adi Satria

 

Renungan: Puisi ini menceritakan tentang pengorbanan seorang ayah yang selama hidup hanya merawat seorang anak dari mantan pacarnya.

Ia tidak pernah menikah tetapi tidak pernah menceritakan pada anaknya perihal status dari anak tersebut.

Hal ini memberi pelajaran bahwa ayah adalah sosok manusia yang jarang mengungkapkan keluh kesahnya.

Bahkan, ayah dalam puisi tersebut tidak mengatakan pada anaknya bahwa ia tidak pernah menikah dan merawat anak orang lain.

Ayah memang sosok yang tidak pernah mengatakan kesedihannya. Bahkan, yang menjadi saksi dari penderitaannya hanyalah seonggok kaca mata.

 

#4. Puisi Ayah Tentang Pelajaran Berharga dalam Hidup

Judul: Puisi di Suatu Dahulu

Rumah masa kecilku

yang ada di suatu dahulu

hanya berdinding anyaman bambu.

 

Agar tampak kuat,

Ayah menempelkan kertas bekas

dengan lem dari tepung kanji

dan meleburnya dengan kapur.

Bila hujan datang semuanya luntur.

 

“Ayah, luntur.”

“Tak apa, Nak. Lekas tidur.”

Ayah sepanjang malam mengumpulkan lap gombal

untuk menambal,

jangan sampai air hujan

merembes ke kasur

agar aku tetap lelap tertidur.

 

Suatu hari aku minta dibelikan air mancur,

agar mandiku tak usah mengguyur.

“Ayah, di kamar mandi orang kaya ada air mancur,

mereka tak usah gebyur-gebyur.

Tinggal putar kran langsung cur.”

Ayah hanya menghela napas,

mungkin pintaku tak terukur,

ia hanya seorang tukang cukur.

 

Namun sorenya aku melihat air mancur di kamar mandiku.

Ayah membuatnya dari botol bekas

yang ia lubangi kecil-kecil di bawahnya.

Airnya dari ember yang terus ia isi air dari timba

dari sumur tetangga

dan mengalir melalui selang.

Aku mandi dengan senang

berasa seperti orang kaya.

 

“Nak, untuk mandi seperti ini

kita tak perlu jadi orang kaya,

jadilah orang yang mampu melakukan apapun

dalam keterbatasan yang ada.”

katanya

sembari terus menimba

di suatu dahulu kala.

 

Bekasi, 10 Juli 2013

Norman Adi Satria

Renungan: Ayah adalah sosok manusia yang akan selalu memberikan petuah-petuah pada anaknya. Ayah yang bijak akan membuat anaknya merasa bahagia meskipun dalam keterbatasan.

Seperti dalam puisi di atas yang mana seorang ayah yang baik akan memberikan kalimat bijak untuk membuat sang Anak mengerti bahwa kebahagiaan tidak hanya bisa diukur dengan harta.

 

#5. Puisi Ayah Karya Rayhandi

Judul: Saat Ayah Tidur

Saat Ayah Tidur

Puisi ayah karya: Rayhandi

 

Saat ayah tidur

Kutemukan seberkah kedamaian di sana

Tepatnya di wajahmu yang senja itu

Kulihat di sana begitu banyak sajak balada.

 

Saat ayah tidur

Kutemukan wajah kebebasan

Laksana rindu terbebas dari kesepian menghujam

Di sanalah kutemukan ia.

 

Saat ayah tidur

Saat itulah kau menjadi asli tanpa topeng tanpa drama

Kau menjadi dirimu yang rapuh dan sakit

Kau menjadi manusia wajar bukan robot.

 

Saat ayah tidur

Ingin rasanya kumenangis

Mengingat sebait takdir kita yang sekarat

Mati tidak mau menyerah tidak bisa.

 

Saat ayah tidur

Ayah kudongakkan wajahku ke atas biru

Kumohon padaNya dengan khidmat

Semoga aku selalu bersamamu

Melihat tidurmu ayah.

 

Renungan: Puisi berjudul saat ayah tidur ini merupakan ungkapan kesedihan dari seorang anak yang selalu melihat ayahnya bekerja dengan keras selama hidupnya.

Di dalam tidur ayahnya, seorang anak baru bisa melihat sosok manusia biasa yang memiliki rasa lelah dan lemah. Berbeda jauh dengan keadaan sang ayah ketika ia harus menjadi sosok lain yang selalu merasa kuat.

 

#6. Puisi Ayah Berisi Doa

Judul: Ayahku Matahariku

Ayah

Dimataku kau lah sosok yang paling bijaksana

Senyummu yang penuh dengan kasih sayang

Matamu,hidungmu tetap tersedia didalam ingatanku

walau kau berada di kejauhan sana

 

Ayah ….

Entah mengapa Tuhan mengambilmu lebih awal

Sebelum aku bisa membahagiakanmu

Aku sedih aku merana

Tiada sang matahari yang menyinari lagi

 

Engkau bagaikan matahari yang selalu bersinar

Tiada kau disini mendung terasa dunia ini

tapi ayah …..

Doaku selalu tersedia bikin ayah

Setiap waktu,

Setiap detik,

Setiap menit,

Setiap hembusan nafasku

 

Ayah ,,,,

Andai kau tetap tersedia

Ku menginginkan waktu ini hanya untuk bersamamu

Sebagai kebersamaan yang terakhir kalinya

 

Ayah …..

Anakmu ini selalu menyayangimu

Tak terhalang waktu,keadaan dan apapun itu

 

Terimakasih untuk seluruh perjuangan

Semua kebaikan,

Semua nasihat,

Yang udah engkau memberikan untukku dan keluarga

Semoga kau tenang dan berada di area yang paling indah

Berada disisiNya

 

Amin

 

Renungan: Kehilangan ayah memang menjadi hal yang menyakitkan bagi setiap anak. Sebab ayah adalah sosok penjaga yang tidak pernah mengeluhkan perjuangannya.

Maka dari itu, kita harus senantiasa mengucapkan doa pada setiap waktu jika ingin membalas jasanya. Meskipun, jasa ayah tidak akan pernah mampu untuk kita balas.

Demikian beberapa contoh puisi ayah dari penyair terkenal di negeri ini. Semoga menjadi bahan perenungan bagi kita untuk selalu berbakti kepadanya.

Terimakasih sudah berkunjung dan membaca artikel ini.

Klik star berikut untuk memberikan dukungan pada kami 😀

Average rating 5 / 5. Vote count: 1

By continuing to use the site, you agree to the use of cookies. more information

The cookie settings on this website are set to "allow cookies" to give you the best browsing experience possible. If you continue to use this website without changing your cookie settings or you click "Accept" below then you are consenting to this.

Close